http://lowongan.blog.friendster.com

Rabu, 17 Maret 2010

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

STUDI KASUS BAGI BANG SUBRI (KETUA PHRS BENAKAT)

Guna melibatkan peran serta masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang adil, demokratis, bernilai ekonomi dan berkelanjutan WARSI mendorong inisiatif pengelolaan hutan adat berbasis masyarakat atau Community Base Forest Management.



Sepanjang pemerintahan Orde Baru, konsep pengelolaan hutan hanya menghasilkan dua muka yang saling bertentangan. Kemakmuran bagi sekelompok kecil oknum penguasa dan pengusaha di satu sisi dengan kehancuran masyarakat serta sumber daya alamnya di sisi yang lain. Konsep pengelolaan hutan yang hanya mengedepankan peran negaras serta aspek ekonominya tanpa melihat keberlanjutan dan eksistensi budaya lokal, nyatanya lebih banyak membawa kerugian bagi masyarakat di satu pihak dan menjadi alat ampuh bagi penguasa untuk melumpuhkan kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya di pihak lain.

Selama lebih dari tigapuluh tahun sumber daya hutan dikelola secara masif, seragam, sentralistik, nirpartisipatif rakyat, padat modal dan monopolistik. Akibatnya telah menghilangkan akses masyarakat adat dan lokal yang telah berabad lamanya bergantung kepada hutan. Bahkan, masyarakat desa harus tersingkir dari hutan, yang merupakan bagian terpenting dari kehidupannya. Setelah gaung reformasi digulirkan, para tetua adat, tokoh masyarakat desa dan warga desa semakin berani mengemukakan aspirasi dan kekhawatiran mereka akan kian terkurasnya dan hancurnya ketersediaan sumber daya alam yang mereka miliki.

Untuk mengakomodir aspirasi dan kepentingan masyarakat ada tadi, sejak Oktober 2000 lalu, WARSI telah mendorong sebuah pendekatan baru menuju pengelolaan yang adil, demokratis serta berkelanjutan melalui konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat melalui program community base forest management atau CBFM. Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan dan keberlanjutan sumber daya alam seperti sumber daya hutan, dengan menempatkan posisi masyarakat sebagai bagian terpenting dari sumber daya itu sendiri. Dimana masyarakat mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk ikut mengelola hutan rakyat sesuai dengan nilai dan konsep yang mereka miliki.

Menurut Deputi Direktur WARSI Ir Rahmat Hidayat, sejauh ini CBFM telah dikembangkan di lima kabupaten di empat propinsi. Diantaranya di Sumatra Barat di Kabupaten Agam, desa Koto Malintang, Di Bengkulu di Kabupaten Rejang Lebong desa Ladang Palembang, di Sumatra Selatan di Kabupaten Muara Enim Kecamatan Gunung Megang desa Eks Marga Benakat.

Khusus di propinsi Jambi, terdapat di dua desa di dua kabupaten yakni desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo dan di desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. “Kedua desa tersebut dipilih berdasarkan kajian yang cukup mendalam oleh tim WARSI, dengan menggunakan pendekatan partisipatif maupun proses pendampingan masyarakat,” kata Rahmat. Sehingga dengan jelas diketahui potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa, baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya yang masih sangat teguh memegang adat dan kearifan tradisionalnya.

Pemgelolaan Hutan Dengan Konsep CBFM. Community Base Forest Management atau sistem hutan kerakyatan merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat dilingkungannya bagi kesejahteraannya. Dimana hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang elemennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, tanah keramata dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi.

Dalam pengembangan konsep CBFM, masyarakat terlibat secara aktif, berakar di masyarakat dan bersendikan adat isitiadat maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat pula. Dimana penguasaan lahan , distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak terlepas dari adat dan kebiasaan setempat. Bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Artinya pengembangan CBFM bukan untuk tujuan ekonomi semata, karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitas-komunitas lokal.

Sebagai pembeda dengan sistem pengelolaan hutan lainnya, CBFM memiliki karakteristik program sebagai berikut :

1. Masyarakat setempat (lokal) sebagai aktor utama pengelola hutan


2. Lembaga pengelolaan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat yang bersangkutan.

3. Sistem memiliki atau menguasai wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum (adat dan nasional) yang mendukungnya.

4. Interaksi antara rakyat dan lingkungannya bersifat erat dan langsung

5. Pengetahuan lokal memiliki tempat yang penting dan melandasi kebijaksanaan dan tradisi sistem.

6. Teknologi yang digunakan adalah melalui proses adaptasi yang berada dalam batas-batas yang dikuasai rakyat.

7. Skala produksi tidak dibatasi kecuali prinsip-prinsip kelestarian (sustainability).

8. Sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil dan proporsional.

9. Keanekaragaman mendasari berbagai bidang yaitu jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumber daya, sistem sosial, sistem ekonomi dan sebagainya.

Seluruh aktifitas dalam pelaksanaan program CBFM tersebut mengunakan pendekatan by proses. Dengan pola pendekatan tersebut hasil yang dicapai diharapkan bukan semata-mata pada tercapainya fasilitas atau pelayanan tertentu. Melainkan tumbuh dan berkembangkan suatu proses yang melibatkan seluruh warga desa dalam tindakan dan pengambilan keputusan yang tentu saja akan memotivasi, memberikan rasa tanggung jawab dan keterampilan kepada masyarakat desa dalam partisipasinya di program CBFM.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang digulirkan WARSI ini dilakukan secara bertahap dengan bentuk kegiatannya antara lain:

1. Pendokumentasian kearifan masyarakat adat terhadap sumber daya alam

2. Pengembangan diskusi-diskusi kritis dengan masyarakat tentang pengelolaan hutan sebagai bagian dari proses belajar bersama.

3. Musyawarah di tingkat dusun maupun desa guna menyusun bentuk-bentuk pengelolaan yang benar-benar disepakati bersama untuk dijadikan sebagai keputusan bersama dan dijadikan bahan untuk mendapatkan pengukuhan dari pemerintahan daerah.

4. Pemetaan partisipatif pada kawasan yang telah disepakati bersama sebagai hutan adata dan hutan lindung desa (5 lokasi di 3 dusun).

5. Pembentukan lembaga perwalian sebagai media untuk memusyawarahkan, menyusun dan memperjuangkan hasil kesepakatan guna tercapainya tujuan pengelolaan hutan yang adil dan lestari sesuai dengan kesepakatan bersama.

6. Menyusun rencana pembangunan desa guna peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek pelestarian sumber daya alam.

7. Mengembangkan usaha ekonomi produktif untuk meningkatkan ekonomi dan taraf hidup masyarakat.

Kegiatan fasilitasi oleh fasilitataor WARSI di lapangan dilakukan melalui penggalian aspirasi, pendokumentasian dan mensosialisasikannya dalam setiap pertemuan di desa, baik secara formal maupun informal. Mulai dari level dusun hingga ke tingkat Bupati. Sebagai contoh, di Propinsi Jambi yakni di desa Batu Kerbau, kegiatan fasilitasi telah mengasilkan “Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Desa Batu Kerbau” untuk pengelolaan sumber daya alam.

Menurut Rahmat, dengan adanya piagam kesepakatan ini, masyarakat sangat mengharapkan adanya pengakuan dari pemerintah akan kearifan dan nilai-nilai adat yang telah mereka miliki. Namun dalam pengamatannya Rahmat menilai pemerintah tidak cukup memiliki instrumen kebijakan yang dapat menjamin hak rakyat atas sumber daya alam. Itu sebabnya WARSI dengan tokoh dan tetua adat masyarakat desa akan terus berkordinasi dengan para stakeholder yang dapat diajak berdialog dan berunding. Misalnya saja, kalangan DPRD, Bappeda, Bupati, instansi teknis di kabupaten Bungo dan Merangin, praktisi hukum, LSM dan kalangan media massa. “Karena pengembangan program CBFM yang dikembangkan WARSI tidak akan banyak memberikan arti dan manfaat tanpa dukungan dari semua pihak,” kata Rahmat. (*)



Studi Kasus Aplikasi Program CBFM di Jambi

Khusus di kabupaten Jambi, penerapan program CBFM dilakukan di dua desa dari dua kabupaten uaki di desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin dan desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo. Kedua desa ini memiliki kandungan sumber daya alam hutan yang belum tersentuh dan memungkinkan untuk dikembangkan sebagai sumber penghasilan alternatif.

Desa Guguk yang berada sekitar 30 Km dari pusat kota Kabupaten Merangin memiliki posisi strategis baik dari sisi akses informasi maupun transportasi karena berada pada lintas Merangin – Kerinci. Desa ini memiliki kawasan hutan yang cukup luas, mulai dari bagian selatan desa dari bekas dusun Pelagai Panjang dipinggir sungai Merangin terus ke utara melewati bekas jalan logging PT Injabsin sampai keperbatasan dengan desa Lubuk Beringin.

Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan WARSI bersama dengan BPN pada 2001 lalu, luas kakwasan adat di desa Guguk mencapai 800,5 ha. Aktifitas ekonomi masyarakat sangat didominasi oleh pertanian karet. Berdasarkan survey yang dilakukan WARSI hingga tahun 2000 lalu, desa Guguk dihuni oleh sedikitnya 350 KK yang mayoritas merupakan etnis Melayu/ marga Pembarap dan secara minoritas oleh etnis Jawa, Minang dan Batak.

Sedangkan desa Batu Kerbau, menurut data monografi desa pada tahun 2000, memiliki total luas wilayah mencapai 45.000 ha. Terdiri atas 37 ha pemukiman penduduk, 125 ha perkebunan karet, 223 ha perkebunan kulit manis, 475 ha perladangan penduduk, 330 ha perkebunan buah, 1500 ha hutan adat, 110 ha semak belukar dan 40.000 ha lainnya berupa hutan. Desa ini dihuni oleh sekitar 216 KK dari 1250 jiwa. Terdiri atas 3 dusun yang semuanya telah memiliki hutan adat yakni dusun Batu Kerbau, Dusun Lubuk Tebat dan dusun Belukar Panjang.

Seluruh kawasan hutan tersebut masih memungkinkan untuk digarap dan memberikan manfaat secara ekonomi sebagai sumber penghasilan desa. Diantaranya potensi sumber daya alam seperti salak dan pengelolaan kawasan pariwisata. ‘Jika dikelola secara benar dan berkelanjutan potensi sumber daya alam ini akan memberikan peluang sebagai sumber penghasilan alternatif, yang dapat mengatasi masalah kemiskinan penduduk desa,” kata Rahmat.




Piagam Kesepakatan

Berdasarkan hasil kesepakatan masyarakat adat, telah disusun Piagam Kesepakatan yang mengatur pengelolaan :

· Hutan Lindung Desa

· Hutan Adat Desa

· Lubuk Larangan

Piagam kesepakatan ini berisi aturan pengelolaan dan sanksi yang akan dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, salah satunya berupa denda dan dibacakan surat Yassin.








Pemetaan Partisipatif.

Untuk mendorong proses pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak pengelolaan oleh masyarakat telah dilaksanakan pemetaan partisipatif terhadap kawasan hutan lindung desa dan hutan adat desa. Yakni hutan lindung Batu Kerbau seluas 776 ha, hutan lindung Belukar Panjang seluas 361 ha, hutan adat Batu Kerbau 386 ha, hutan adat Belukar Panjang seluas 472 ha dan hutan adat Lubuk Tebat seluas 306 ha.

Terdapat 30 ha salak rimba yang tersebar disekeliling desa serta hutan adat dan hutan lindung desa. Terdiri atas salak kelapa, salak abu, salak ular, salak tembaga dan salak bawang. Sedangkan jenis salak dewo hanya terdapat di hutan adat. Selain itu juga masih tegak berdiri 1200 batang enau yang tumbuh subur di kawasan hutan adat, hutan lindung, sesap dan tepi sungai di Batu Kerbau.
Terdiri atas 3 jenis (enau gajah, berban dan ketari) yang diperkirakan akan musnah ketika kawasan kelola rakyat telah diatur ratusan tahun lamanya diubah menjadi perkebunan sawit. Perjuangan bersama untuk mendorong pengukugan, pengakuan dan penghormatan inisitaif rakyat melalui SK Bupati dan Perda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar